Minggu, 02 November 2014

Kekerasan Terhadap Anak (SoftSkill)



Kekerasan Terhadap Anak


Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan oleh wali ataupun kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya, yang dapat membahayakan, berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Sebagian besar kekerasan terhadap anak terjadi di rumah anak itu sendiri dan dalam jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi.
Yurisdiksi yang berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang apa yang merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan anak dari keluarganya dan/atau penuntutan terhadap suatu tuntutan pidana. Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, penganiayaan terhadap anak adalah “setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak pada bagian dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius atau emosional yang membahayakan, pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang menyajikan risiko besar akan bahaya yang serius”. Seseorang yang merasa perlu untuk melakukan kekerasan terhadap anak atau mengabaikan anak sekarang mungkin dapat digambarkan sebagai “pedopath”

Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak :
1.     Pengabaian atau Penelantaran
Penelantaran anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan yang memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) , atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
·         Contoh Kasus : Vira (24 thn), memiliki anak tak lama setelah menikah. Ia merasa menjadi tawanan yang tidak bebas lagi berkumpul dengan teman-temannya. Dia merasakan bahwa kebebasannya terampas dan menganggap bahwa kehidupan nyata tidak seperti romantisme yang dia bayangkan. Maka pengasuhan bayi sepenuhnya diserahkan pada baby-sitter. Vira sendiri selalu pulang tepat sebelum suaminya tiba di rumah, seolah seharian mengurus anak. Padahal tidur, mandi, makan, susu, bahkan uang belanja harian dan bulanan, diserahkan sepenuhnya pada baby-sitter.
·          Dampak emosi : Secara alami, anak memilih ibu untuk melekat. Disekap, disentuh, dibelai dan dipeluk adalah kebutuhan utama bayi. Dari pengalaman ini bayi menumbuhkan cinta di hati, membangun rasa percaya di dalam diri dan terhadap orang lain, dan yang utama adalah tumbuhnya rasa aman. Itu sebabnya anak-anak dengan riwayat diabaikan, berisiko mengalami masalah-masalah emosi bahkan kejiwaan seperti mudah cemas, depresi, sulit percaya pada orang lain dan merasa tidak aman.

Penelitian Dante Cicchetti, ahli psikopatologi dari University of Minessota (AS) menyebutkan bahwa 80% bayi yang ditelantarkan menunjukkan perilaku kelekatan yang tidak jelas. Di usia muda anak menolak dan melawan pengasuhnya, bingung, gelisah, atau cemas. Di usia 6 tahun, anak tidak bertingkah laku layaknya anak, ia ingin mendapat perhatian dengan cara melayani orang tuanya.
·         Dampak fisik : Asupan gizi yang tidak memadai.
·         Orang tua diharapkan : Konsultasi pada psikolog untuk mengkaji kembali perkawinannya dan untuk apa mempunyai anak, serta mengubah pola pikir.
·         Bantuan untuk anak oleh orang dewasa lain: Periksakan anak ke dokter untuk mengetahui tumbuh-kembangnya serta status gizinya. Penuhi kebutuhan anak untuk menumbuhkan rasa percaya dan rasa aman serta ajak anak bermain dan penuhi kebutuhan emosinya seperti diajak bicara atau dibelai, namun tetap mempertahankan sikap konsisten, tidak cepat marah dan tidak memberi penilaian negatif pada sikap anak.
2.     Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah agresi fisik yang diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau mengguncang seorang anak. Kekerasan fisik kerap kali tidak ada batas jelas antara menyiksa dan mendisiplinkan.
            Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera difus aksonal, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar. Transmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti dengan sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap penganiayaan fisik dalam beberapa wilayah yurisdiksi.
            Sebagian besar negara dengan hukum kekerasan terhadap anak mempertimbangkan penderitaan dari luka fisik atau tindakan yang menempatkan anak dalam risiko yang jelas dari cedera serius atau kematian tidak sah. Di luar ini, ada cukup banyak variasi. Perbedaan antara disiplin anak dan tindak kekerasan sering kurang didefinisikan. Budaya norma tentang apa yang merupakan tindak kekerasan sangat bervariasi : kalangan profesional serta masyarakat yang lebih luas tidak setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.
            Beberapa profesional yang bertugas di bidang manusia mengklaim bahwa norma-norma budaya yang berhubungan dengan sanksi hukuman fisik adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak dan mereka telah melakukan kampanye untuk mendefinisikan kembali norma-norma tersebut.
            Namun penggunaan tindak kekerasan apapun terhadap anak-anak sebagai tindakan disiplin adalah ilegal di 24 negara di seluruh dunia, akan tetapi lazim dan diterima secara sosial di banyak negara lainnya. Padahal anak-anak yang mengalami kekerasan fisik cenderung mengalami patah tulang terutama patah tulang rusukdan mungkin memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker.
·         Contoh Kasus : Yani (30 thn) sering menghukum kenakalan anaknya yang berusia 5 tahun. Bentuk kenakalan itu antara lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran dan menganggu adik. Menurut penuturannya, jika anaknya nakal di kamar mandi, maka dia pukul pakai gayung. Jika tak mau makan, maka dia pukul pakai sendok atau piring. Dan jika menggangu adiknya, maka dia pukul pakai mainannya. Menurut dia, anak harus dihukum supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan yang dilarang karena dia tak ingin disalahkan suaminya dengan predikat tak mampu mendidik anak.
·         Dampak emosi : Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas. Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk memberi disiplin. Di usia dewasa, anak akan menggunakan pendekatan kekerasan untuk mendisiplinkan anak.
·         Dampak fisik : Memar, luka, patah tulang terutama di daerah rusuk dan gangguan-gangguan di bagian tubuh lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di usia selanjutnya.
·         Orang tua diharapkan : Konsultasi pada psikologi untuk latihan mengelola emosi, menggali masalah suami isteri yang tidak selesai dan mempelajarai perkembangan anak. Mengajak anak ke dokter untuk memeriksakan kondisi fisik dan memahami perkembangan anak. Di usia 5 hingga 8 tahun, anak sedang berada pada tahap ingin menunjukkan kemampuan, mereka ingin berkreasi. Tidak semua tindakan anak merupakan kenakalan, mereka tidak tahu bahwa tingkah lakunya salah atau kurang tepat.
·         Bantuan untuk anak : Pemeriksaan psikologis oleh psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang dialaminya dan mendapat terapi yang sesuai. Tumbuhkan kembali rasa percaya diri anak. Terimalah apa yang mereka lakukan dengan tidak lupa memberitahu tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak bahwa ia sangat dicintai.
3.   Pelecehan Seksual 
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang dewasa atau remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
            Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, imsomnia, takut hal yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis , kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi, gangguan stres pasca trauma, kecemasan, penyakit mental lainnya termasuk gangguan kepribadian  dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, dan cedera fisik pada anak di antara masalah-masalah lainnya.
            Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak
·         Contoh Kasus : Aditya, seorang pemuda belasan tahun yang ketahuan mengoleksi film porno di kamarnya dimana hampir seluruhnya berisi adegan seksual antara pria dengan pria. Dari psikolog, diperoleh jawaban sewaktu Aditya masih SD, ia mengalami perbuatan tak senonoh dari satpam penjaga rumah. Adit tak berani melapor karena  ia diancam .
·         Dampak emosi : Cemas, depresi, dan trauma
·         Dampak fisik : Cedera fisik, perubahan fisik dan perkembangan otak.
·         Orang tua diharapkan : Biasakan bersikap terbuka terhadap anak dan menghargai kejujuran anak agar anak tidak takut bersikap terbuka. Yakinkan anak bahwa tak ada rahasia yang harus mereka sembunyikan dan minta anak selalu menceritakan pengalamannya serta peka pada perubahan yang terjadi pada anak.
·         Bantuan untuk anak : Melakukan pemeriksaan untuk menanggulangi masalah fisik. Ajaklah anak berkonsultasi pada psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang dialami anak dan dilakukan terapi yang sesuai serta jauhkan anak dari pelaku sehingga bisa menciptakan rasa aman bagi anak.
       4.  Pelecehan Emosional/Psikologis
Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.
            Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu bersikap pasif.
·         Contoh Kasus : Ayu (29 thn), sangat kreatif dalam menakut-nakuti Bisma (4 thn). Misalnya dengan mengatakan jangan main di kamar mandi, nanti digigit kecoa; jangan keluar rumah sendirian, nanti diculik hantu blau; ayo cepat tidur, nanti tokeknya datang menggigit kamu, dsb.
·         Dampak :  Masa kanak-kanak adalah masanya meniru dan mulai tertanamnya norma-norma yang akan dia ikuti. Kata-kata dan perilaku kasar yang diterimanya, akan ditirunya. Anak tidak lagi mengetahui mana tingkah laku yang tepat. Demikian pula pemberian label akan tetap tertanam dalam dirinya, dan dapat menyebabkan ia memiliki konsep diri bahwa ia adalah anak seperti apa yang dikatakan orang padanya. Selain itu timbul perasaan terancam, ketakutan, bersalah, rendah diri karena terkikis harga dirinya.
·         Bantuan untuk anak : Bila terjadi di sekolah, bicarakan dengan kepala sekolah tentang sikap guru terhadap murid. Sementara itu orang tua harus meyakinkan anak bahwa ia sangat dicintai. Yang paling penting orangtua atau orang dewasa lain di sekitar anak tidak lagi berlaku kasar padanya dan tunjukkan hal positif. Bila ia melakukan sesuatu yang baik berikan pujian secukupnya. Ajak anak ke psikolog untuk pemeriksaan psikologis dan mendapat terapi yang sesuai.

Menurut Komite Nasional (Amerika) untuk Tindak Pencegahan Kekerasan pada Anak, pada tahun 1997 pengabaian mewakili 54% kasus kekerasan terhadap anak yang terkonfirmasi, kekerasan fisik 22%, pelecehan seksual 8%, kekerasan emosional 4% dan bentuk kekerasan lainnya sebesar 12%.
Sebuah kematian akibat kekerasan terhadap anak adalah ketika kematian anak adalah hasil dari kekerasan atau kelalaian, atau bila kekerasan dan/atau pengabaian menjadi faktor yang berkontribusi untuk kematian anak. Kekerasan pada anak merupakan fenomena yang kompleks dengan penyebab yang bermacam-macam.Memahami penyebab kekerasan sangat penting untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak. Ada asosiasi kuat antara paparan penganiayaan anak-anak dalam segala bentuk dan tingkat yang lebih tinggi dari kondisi kronis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar