Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan terhadap
anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional,
atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat,
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan
anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan oleh wali ataupun
kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya, yang dapat membahayakan,
berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Sebagian
besar kekerasan terhadap anak terjadi di rumah anak itu sendiri dan dalam
jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi
tempat anak berinteraksi.
Yurisdiksi yang
berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri
tentang apa yang merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan anak dari
keluarganya dan/atau penuntutan terhadap suatu tuntutan pidana.
Menurut Journal of Child Abuse and Neglect,
penganiayaan terhadap anak adalah “setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk
bertindak pada bagian dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian,
kerusakan fisik serius atau emosional yang membahayakan, pelecehan seksual atau
eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang menyajikan risiko besar akan
bahaya yang serius”. Seseorang yang merasa perlu untuk melakukan kekerasan terhadap
anak atau mengabaikan anak sekarang mungkin dapat digambarkan sebagai
“pedopath”
Ada empat
kategori utama tindak kekerasan terhadap anak :
1.
Pengabaian atau Penelantaran
Penelantaran anak
adalah dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan
kebutuhan yang memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan
untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional
(kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang),
pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) , atau medis
(kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
·
Contoh Kasus : Vira (24
thn), memiliki anak tak lama setelah menikah. Ia
merasa menjadi tawanan yang tidak bebas lagi berkumpul dengan teman-temannya.
Dia merasakan bahwa kebebasannya terampas dan menganggap bahwa kehidupan nyata
tidak seperti romantisme yang dia bayangkan. Maka pengasuhan
bayi sepenuhnya diserahkan pada baby-sitter. Vira sendiri selalu pulang
tepat sebelum suaminya tiba di rumah, seolah seharian mengurus anak. Padahal
tidur, mandi, makan, susu, bahkan uang belanja harian dan bulanan,
diserahkan sepenuhnya pada baby-sitter.
·
Dampak emosi : Secara
alami, anak memilih ibu untuk melekat. Disekap, disentuh, dibelai dan dipeluk
adalah kebutuhan utama bayi. Dari pengalaman ini
bayi menumbuhkan cinta di hati, membangun rasa
percaya di dalam diri dan terhadap orang lain, dan yang utama adalah tumbuhnya
rasa aman. Itu sebabnya anak-anak dengan riwayat diabaikan, berisiko mengalami
masalah-masalah emosi bahkan kejiwaan seperti mudah cemas, depresi, sulit
percaya pada orang lain dan merasa tidak aman.
Penelitian Dante
Cicchetti, ahli psikopatologi dari University
of Minessota (AS) menyebutkan bahwa 80% bayi yang ditelantarkan
menunjukkan perilaku kelekatan yang tidak jelas. Di usia muda anak menolak dan
melawan pengasuhnya, bingung, gelisah, atau cemas. Di usia 6 tahun, anak tidak
bertingkah laku layaknya anak, ia ingin mendapat perhatian dengan cara melayani
orang tuanya.
·
Dampak fisik : Asupan gizi yang
tidak memadai.
·
Orang tua diharapkan : Konsultasi
pada psikolog untuk mengkaji kembali perkawinannya dan untuk apa mempunyai
anak, serta mengubah pola pikir.
·
Bantuan untuk anak oleh orang dewasa
lain: Periksakan anak ke dokter untuk mengetahui tumbuh-kembangnya
serta status gizinya. Penuhi kebutuhan anak untuk menumbuhkan rasa percaya dan
rasa aman serta ajak anak bermain dan penuhi kebutuhan emosinya seperti diajak
bicara atau dibelai, namun tetap mempertahankan sikap konsisten, tidak cepat
marah dan tidak memberi penilaian negatif pada sikap anak.
2.
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik
adalah agresi fisik yang diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini
dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar,
membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau
mengguncang seorang anak. Kekerasan fisik kerap kali tidak ada batas jelas
antara menyiksa dan mendisiplinkan.
Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom
guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan
otak, cedera difus aksonal, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola
seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan
ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar. Transmisi racun pada
anak melalui ibunya (seperti dengan sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap
penganiayaan fisik dalam beberapa wilayah yurisdiksi.
Sebagian besar negara dengan hukum kekerasan terhadap anak
mempertimbangkan penderitaan dari luka fisik atau tindakan yang menempatkan
anak dalam risiko yang jelas dari cedera serius atau kematian tidak sah. Di
luar ini, ada cukup banyak variasi. Perbedaan antara disiplin anak dan tindak
kekerasan sering kurang didefinisikan. Budaya norma tentang apa yang merupakan
tindak kekerasan sangat bervariasi : kalangan profesional serta masyarakat yang
lebih luas tidak setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.
Beberapa profesional yang bertugas di bidang manusia
mengklaim bahwa norma-norma budaya yang berhubungan dengan sanksi hukuman fisik
adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak dan mereka telah melakukan
kampanye untuk mendefinisikan kembali norma-norma tersebut.
Namun penggunaan tindak kekerasan apapun terhadap
anak-anak sebagai tindakan disiplin adalah ilegal di 24 negara di seluruh
dunia, akan tetapi lazim dan diterima secara sosial di banyak negara lainnya.
Padahal anak-anak yang mengalami kekerasan fisik cenderung mengalami patah
tulang terutama patah tulang rusukdan mungkin memiliki risiko lebih tinggi
terkena kanker.
·
Contoh Kasus : Yani (30
thn) sering menghukum kenakalan anaknya yang berusia 5 tahun. Bentuk kenakalan
itu antara lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran
dan menganggu adik. Menurut penuturannya, jika anaknya nakal di kamar mandi,
maka dia pukul pakai gayung. Jika tak mau makan, maka dia pukul pakai sendok
atau piring. Dan jika menggangu adiknya, maka dia pukul pakai mainannya.
Menurut dia, anak harus dihukum supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan yang
dilarang karena dia tak ingin disalahkan suaminya dengan predikat tak mampu
mendidik anak.
·
Dampak emosi : Merasa terancam,
tertekan, gelisah dan cemas. Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk
memberi disiplin. Di usia dewasa, anak akan menggunakan pendekatan kekerasan
untuk mendisiplinkan anak.
·
Dampak fisik : Memar, luka,
patah tulang terutama di daerah rusuk dan gangguan-gangguan di bagian tubuh
lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di usia selanjutnya.
·
Orang tua diharapkan : Konsultasi
pada psikologi untuk latihan mengelola emosi, menggali masalah suami
isteri yang tidak selesai dan mempelajarai perkembangan anak. Mengajak anak ke
dokter untuk memeriksakan kondisi fisik dan memahami perkembangan anak. Di usia
5 hingga 8 tahun, anak sedang berada pada tahap ingin menunjukkan kemampuan,
mereka ingin berkreasi. Tidak semua tindakan anak merupakan kenakalan, mereka
tidak tahu bahwa tingkah lakunya salah atau kurang tepat.
·
Bantuan untuk anak : Pemeriksaan
psikologis oleh psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang dialaminya dan
mendapat terapi yang sesuai. Tumbuhkan kembali rasa percaya diri anak.
Terimalah apa yang mereka lakukan dengan tidak lupa memberitahu tindakan apa
yang seharusnya dilakukan. Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak
bahwa ia sangat dicintai.
3. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual
terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan dan pelanggaran yang dilakukan
oleh orang dewasa atau remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk
mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk
meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas
dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan
pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak
fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik,
atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan
menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, imsomnia, takut hal yang
berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter,
dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis , kecanduan, melukai
diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi, gangguan stres
pasca trauma, kecemasan, penyakit mental lainnya termasuk gangguan kepribadian
dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk mengulangi
tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, dan cedera fisik
pada anak di antara masalah-masalah lainnya.
Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5%
sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih
anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang kenal
dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling sering
adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman
lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing yang melakukan
pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak
·
Contoh Kasus : Aditya, seorang
pemuda belasan tahun yang ketahuan mengoleksi film porno di kamarnya dimana
hampir seluruhnya berisi adegan seksual antara pria dengan pria. Dari psikolog,
diperoleh jawaban sewaktu Aditya masih SD, ia mengalami perbuatan tak senonoh
dari satpam penjaga rumah. Adit tak berani melapor karena ia diancam .
·
Dampak emosi : Cemas,
depresi, dan trauma
·
Dampak fisik : Cedera fisik,
perubahan fisik dan perkembangan otak.
·
Orang tua diharapkan : Biasakan
bersikap terbuka terhadap anak dan menghargai kejujuran anak agar anak tidak
takut bersikap terbuka. Yakinkan anak bahwa tak ada rahasia yang harus mereka
sembunyikan dan minta anak selalu menceritakan pengalamannya serta peka pada
perubahan yang terjadi pada anak.
·
Bantuan untuk anak : Melakukan
pemeriksaan untuk menanggulangi masalah fisik. Ajaklah anak berkonsultasi pada
psikolog untuk mengetahui gangguan emosi yang dialami anak dan dilakukan terapi
yang sesuai serta jauhkan anak dari pelaku sehingga bisa menciptakan rasa aman
bagi anak.
4. Pelecehan
Emosional/Psikologis
Dari semua
kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional adalah yang paling sulit
untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi,
perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan,
kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan
komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.
Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan
menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina
kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan
kasih sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan
diri sendiri untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu
bersikap pasif.
·
Contoh Kasus : Ayu (29 thn),
sangat kreatif dalam menakut-nakuti Bisma (4 thn). Misalnya dengan mengatakan
jangan main di kamar mandi, nanti digigit kecoa; jangan keluar rumah sendirian,
nanti diculik hantu blau; ayo cepat tidur, nanti tokeknya datang menggigit
kamu, dsb.
·
Dampak : Masa kanak-kanak
adalah masanya meniru dan mulai tertanamnya norma-norma yang akan dia ikuti.
Kata-kata dan perilaku kasar yang diterimanya, akan ditirunya. Anak tidak lagi
mengetahui mana tingkah laku yang tepat. Demikian pula pemberian label akan
tetap tertanam dalam dirinya, dan dapat menyebabkan ia memiliki konsep diri
bahwa ia adalah anak seperti apa yang dikatakan orang padanya. Selain itu timbul
perasaan terancam, ketakutan, bersalah, rendah diri karena terkikis harga
dirinya.
·
Bantuan untuk anak : Bila
terjadi di sekolah, bicarakan dengan kepala sekolah tentang sikap guru terhadap
murid. Sementara itu orang tua harus meyakinkan anak bahwa ia sangat dicintai.
Yang paling penting orangtua atau orang dewasa lain di sekitar anak tidak lagi
berlaku kasar padanya dan tunjukkan hal positif. Bila ia melakukan sesuatu yang
baik berikan pujian secukupnya. Ajak anak ke psikolog untuk pemeriksaan psikologis
dan mendapat terapi yang sesuai.
Menurut Komite
Nasional (Amerika) untuk Tindak Pencegahan Kekerasan pada Anak, pada tahun 1997
pengabaian mewakili 54% kasus kekerasan terhadap anak yang terkonfirmasi,
kekerasan fisik 22%, pelecehan seksual 8%, kekerasan emosional 4% dan bentuk
kekerasan lainnya sebesar 12%.
Sebuah kematian
akibat kekerasan terhadap anak adalah ketika kematian anak adalah hasil dari
kekerasan atau kelalaian, atau bila kekerasan dan/atau pengabaian menjadi
faktor yang berkontribusi untuk kematian anak. Kekerasan pada anak merupakan
fenomena yang kompleks dengan penyebab yang bermacam-macam.Memahami penyebab
kekerasan sangat penting untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak. Ada
asosiasi kuat antara paparan penganiayaan anak-anak dalam segala bentuk dan
tingkat yang lebih tinggi dari kondisi kronis.